Rabu, 22 Desember 2010

Sayalah yang tuli...


“Kau membunuhnya!” raung Mas Daeng, menuding lawan bicaranya. Lawan bicaranya diam tidak menjawab. Kadang diam berarti “iya,” namun kali ini entah mengapa Mas Daeng merasa ini adalah penyangkalan.

“Benarkah?”

“Baiklah, tidak secara langsung, tidak dengan tangan yang Kau punya, tetapi Kau yang menempatkannya dalam situasi yang membunuh itu. Dan Kau hanya menyaksikannya berangsur-angsur kehilangan nyawa! Kau bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menyampaikan betapa sakitnya dirinya!” Mata Mas Daeng berair, namun tidak tumpah.

“Hm, mungkin itu benar…”

“Itu hanya satu dari sekian banyak kekejaman yang Kau lakukan. Hanya satu dari sekian pembunuhan yang Kau atur! Pembantaian di utara, kerusakan di tenggara, serta kesedihan di seberang pulau sana. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Kau? Apabila di dunia ini ada kriminalitas yang sempurna, maka saya yakin, Kau yang melakukannya!”

“Kriminal sempurna? Kau terlalu banyak membaca Agatha Christie…”

“Kau yang melatih para teroris! Kau bahkan yang mereka jadikan alasan untuk menjadi teroris. Jika mereka memang salah berbuat, mengapa tidak Kau ambil tindakan nyata mencegahnya? Dengan kecerdasan yang Kau punya, mengapa tidak berada di pihak mereka yang tidak berdaya?”

“Haha, Saya akui, memang keterampilan yang mereka punya bersumber dari Saya, tetapi apakah kau cukup punya wawasan tentang subjek ini hingga berani membahasnya?”

Mas Daeng mondar-mandir, bersungut-sungut, pandangannya tidak terarah karena murka. Kehilangan sahabat menjadikannya tidak terarah, hingga pilar rumah membentur kepalanya - mungkin sebaliknya, tetapi dia tidak benar-benar bisa mengetahuinya saat itu - membuatnya terjengkang setengah meter jauhnya.

Dalam lena, dia kemudian menyadari, bahwa lawan bicaranya tidak pernah benar-benar bersuara. Jawaban yang datang tidak lebih hanya imaji, yang bersumber dari kepalanya sendiri.
Suara dari yang ditanya - lebih tepatnya Sang Maha Ditanya - tidak pernah didengarnya. Tetapi Mas Daeng yakin, bukan karena Dia yang bisu, melainkan dia yang tuli…

3 komentar:

  1. meski tidak begitu akrab dengan alurnya, tapi tak perlu itu untuk mencederainya

    BalasHapus
  2. wah, ada yg perlu dicederai yah tnyata...

    BalasHapus