Rabu, 22 Desember 2010

Gara-gara kopi kebanyakan gula...

Setetes urine berkata pada Mas Daeng, “Betapa kau tidak mengerti akan kebutuhanmu. Tidak tahu membedakan keharusan dan keinginan. Sampai saat ini - saat urine itu terpercik ke porselen dan sebelum melebur dengan air siraman - kalian, kaum manusia, masih berkata “Saya ingin buang air kecil,” alih-alih “Saya harus….” Apakah kami - urine - memang keluar atas keinginan kalian? Tentu bukan, sebab kamilah yang mendesak untuk dikeluarkan. Kalian tidak punya pilihan akan hal itu. Tahanlah, maka “buang air” akan berubah menjadi ngompol. Dan kandung kemih kalian akan melembung serupa balon.”

“Apakah itu penting untuk dibahas?” Mas Daeng - gugup - bertanya (entah mengapa, dari sekian banyak hal yang bisa dipikirkan dan ditanyakan, justru hal ini yang terlontar keluar).

“Tidak untuk kami. Tetapi cobalah kalian memikirkannya sejenak. Bisa saja-boleh jadi-barangkali-mungkin, budaya konsumtifisme - bukan konsumerisme - kalian, kaum manusia berakar dari salah kaprah ini. Kalian menukar keinginan dengan kebutuhan. Pada saat kalian merasa bahwa keharusan adalah keinginan - buang air kecil, misalnya, pada saat itu pula kalian menjadikan keinginan sebagai keharusan dan kebutuhan. Dan terbelilah segala macam kemewahan yang tidak perlu itu, haha…”

“…dan bisa jadi…” Pembicaraan terputus, setetes urine itu hanyut oleh guyuran air toilet. Mas Daeng tidak ingin - dan juga tidak butuh, apalagi harus - menjadi gila lebih lama.

Sayalah yang tuli...


“Kau membunuhnya!” raung Mas Daeng, menuding lawan bicaranya. Lawan bicaranya diam tidak menjawab. Kadang diam berarti “iya,” namun kali ini entah mengapa Mas Daeng merasa ini adalah penyangkalan.

“Benarkah?”

“Baiklah, tidak secara langsung, tidak dengan tangan yang Kau punya, tetapi Kau yang menempatkannya dalam situasi yang membunuh itu. Dan Kau hanya menyaksikannya berangsur-angsur kehilangan nyawa! Kau bahkan tidak memberinya kesempatan untuk menyampaikan betapa sakitnya dirinya!” Mata Mas Daeng berair, namun tidak tumpah.

“Hm, mungkin itu benar…”

“Itu hanya satu dari sekian banyak kekejaman yang Kau lakukan. Hanya satu dari sekian pembunuhan yang Kau atur! Pembantaian di utara, kerusakan di tenggara, serta kesedihan di seberang pulau sana. Siapa lagi yang melakukannya jika bukan Kau? Apabila di dunia ini ada kriminalitas yang sempurna, maka saya yakin, Kau yang melakukannya!”

“Kriminal sempurna? Kau terlalu banyak membaca Agatha Christie…”

“Kau yang melatih para teroris! Kau bahkan yang mereka jadikan alasan untuk menjadi teroris. Jika mereka memang salah berbuat, mengapa tidak Kau ambil tindakan nyata mencegahnya? Dengan kecerdasan yang Kau punya, mengapa tidak berada di pihak mereka yang tidak berdaya?”

“Haha, Saya akui, memang keterampilan yang mereka punya bersumber dari Saya, tetapi apakah kau cukup punya wawasan tentang subjek ini hingga berani membahasnya?”

Mas Daeng mondar-mandir, bersungut-sungut, pandangannya tidak terarah karena murka. Kehilangan sahabat menjadikannya tidak terarah, hingga pilar rumah membentur kepalanya - mungkin sebaliknya, tetapi dia tidak benar-benar bisa mengetahuinya saat itu - membuatnya terjengkang setengah meter jauhnya.

Dalam lena, dia kemudian menyadari, bahwa lawan bicaranya tidak pernah benar-benar bersuara. Jawaban yang datang tidak lebih hanya imaji, yang bersumber dari kepalanya sendiri.
Suara dari yang ditanya - lebih tepatnya Sang Maha Ditanya - tidak pernah didengarnya. Tetapi Mas Daeng yakin, bukan karena Dia yang bisu, melainkan dia yang tuli…

Jumat, 17 Desember 2010

Secangkir kopi tubruk untuk mereka yang patoa-toai...

"Suka patoa-toai itu sanae...," kata Nganu, menunjuk seorang teman bermainnya yang terkenal sering bercanda itu.
Yang dimaksudkannya dengan patoa-toai adalah perilaku "sering meledek."

Kata patoa-toai memang lazim dijumpai dalam percakapan bahasa  Makassar dan bahasa Indonesia yang di-Makassar-kan. Akan tetapi tidak banyak yang memahami bahwa patoa-toai tidak sama dengan meledek, mengejek, dan variasi menghina lainnya.

Patoa-toai berakar dari kata toa yang artinya tua. Kata itu kemudian mendapat imbuhan makassar pa-i yang berarti "sengaja bersikap seperti".
Yang artinya, secara gramatika, patoa-toai adalah sengaja berlaku tua. Pada awalnya kata itu dikenakan untuk orang-orang yang melakukan hal yang tidak pantas kepada mereka yang lebih tua. Yang dalam pandangan orang bugis-makassar, berarti menganggap diri lebih tua daripada orang - yang sebenarnya lebih tua - itu.

Patoa-toai - berdasarkan makna di atas - merupakan salah satu bentuk perilaku yang tidak pada tempatnya.
Sebab yang semestinya berlaku adalah setiap orang diperlakukan sesuai usianya.
Maka bercanda dengan teman sebaya sebenarnya bukanlah patoa-toai, saling ledek di antara para pemuda bukanlah patoa-toai. Meledek - biasanya untuk memancing argumen - yang dilakukan orangtua kepada anaknya juga bukan patoa-toai.

Lain hal apabila seorang anak - di Indonesia, sebab di budaya beberapa negara menganggap boleh saja - memanggil bapaknya dengan hanya menyebut nama. Meminta ibu memasakkan sesuatu tanpa atribut penanda permintaan tolong. Diajak bercakap dengan guru tetapi malah acuh dan tidak acuh.
Patoa-toai itu namanya.

Pejabat yang senang bertindak melampaui atasan, - in negative way, of course. Menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Menganggap rasio pribadi lebih layak dilaksanakan ketimbang ajaran agama. Kesemuanya adalah perilaku memaksakan diri berada pada posisi yang lebih dihormati daripada yang seharusnya. Apabila dilakukan modifikasi makna yang relevan, maka mereka memang patoa-toai...

Rabu, 15 Desember 2010

Mungkin tidak sekali saja...

Bukan karena anti-kemapanan saya tetap menggunakan jasa pos untuk mengirim surat. Sebagian karena protokol, sebagian lagi karena mempertahankan orisinalitas stempel dan tanda tangan atasan.

Tetapi lebih banyak – saya lebih banyak menggunakan pos untuk surat pribadi – karena ketakjuban. Takjub kepada beragamnya hal yang dapat dibaca dari tulisan tangan. Mulai dari tulisan yang rapi hingga tulisan yang berpola – walaupun polanya adalah kekacauan (haha…).

Satu kalimat yang diucapkan langsung akan terasa miskin dibandingkan kalimat yang sama apabila ditorehkan dengan tinta pena. Kalimat tertulis dapat dibaca berulang kali apabila tidak langsung dimengerti pada kali pertama membacanya. Tulisan tangan memberikan kesan, menunjukkan ciri, memberikan kesempatan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Surat dengan tulisan tangan menguak pribadi Einstein, Tesla, Kartini, Gie, bahkan pribadi imajiner kontroversial Jack the Ripper.

Tentang surat…

Sebuah surat singkat Raymond untuk Ken (In Bruges, 2010) membuat saya terkesan. Singkat, Ray menulis,
“Saya pergi ke taman. Agar dia tak perlu repot membersihkannya.”
Ray berniat bunuh diri, tetapi tidak di kamar losmen tempatnya menginap bersama Ken, sebab akan merepotkan bagi nyonya pemilik losmen untuk membersihkan serpihan daging dan otaknya.
Surat itu memungkinkan mereka mempunyai kesempatan kedua.

Tulisan melalui surat mengajarkan tanggung jawab. Mengingatkan pembicara untuk berhati-hati berkata. Sebab akan ada yang membaca, dan - mungkin - tidak sekali saja.

Aroma membuka sapa...

Lebih mudah menghabiskannya apabila manis. Dingin dan tanpa gejolak. Tidak beresiko. Hampir semua orang tidak ingin terancam resiko.

Tetapi pahit dan panas menambah nikmatnya.

Ohya, saya tidak ber-metafora tentang hidup, kok, ini tentang kopi...