Rabu, 22 Desember 2010

Gara-gara kopi kebanyakan gula...

Setetes urine berkata pada Mas Daeng, “Betapa kau tidak mengerti akan kebutuhanmu. Tidak tahu membedakan keharusan dan keinginan. Sampai saat ini - saat urine itu terpercik ke porselen dan sebelum melebur dengan air siraman - kalian, kaum manusia, masih berkata “Saya ingin buang air kecil,” alih-alih “Saya harus….” Apakah kami - urine - memang keluar atas keinginan kalian? Tentu bukan, sebab kamilah yang mendesak untuk dikeluarkan. Kalian tidak punya pilihan akan hal itu. Tahanlah, maka “buang air” akan berubah menjadi ngompol. Dan kandung kemih kalian akan melembung serupa balon.”

“Apakah itu penting untuk dibahas?” Mas Daeng - gugup - bertanya (entah mengapa, dari sekian banyak hal yang bisa dipikirkan dan ditanyakan, justru hal ini yang terlontar keluar).

“Tidak untuk kami. Tetapi cobalah kalian memikirkannya sejenak. Bisa saja-boleh jadi-barangkali-mungkin, budaya konsumtifisme - bukan konsumerisme - kalian, kaum manusia berakar dari salah kaprah ini. Kalian menukar keinginan dengan kebutuhan. Pada saat kalian merasa bahwa keharusan adalah keinginan - buang air kecil, misalnya, pada saat itu pula kalian menjadikan keinginan sebagai keharusan dan kebutuhan. Dan terbelilah segala macam kemewahan yang tidak perlu itu, haha…”

“…dan bisa jadi…” Pembicaraan terputus, setetes urine itu hanyut oleh guyuran air toilet. Mas Daeng tidak ingin - dan juga tidak butuh, apalagi harus - menjadi gila lebih lama.

3 komentar:

  1. lalu..
    bgaimana jk mengorbankan keinginan untk sebuah keharusan?

    BalasHapus
  2. Kalau ketemu persimpangan - yg mmg mesti memilih satu saja - keharusan dengan keinginan, biasanya saya - Mas Daeng juga - akan menerapkan kajian probability, mempertimbangkan untung-rugi-toleransi.
    Ada pilihan2 tertentu yg menjadi lahan bagi logika, bukan melulu nurani...

    BalasHapus
  3. Setidaknya segelas kopi sebelum berubah menjadi tetes tetes urine telah membawa kenikmatan dikerongkongan para peminumnya.

    BalasHapus