Sabtu, 22 Oktober 2011

6 jam sepeninggalmu, sahabat...

2005
Jelas terlihat bahwa kau senior yang anti pada adik angkatan yang tidak ikut pengkaderan.

[Beberapa hari pada awal perkuliahan]
Kita belum begitu akrab, kau mencoba bergurau, "Kemarin kau bilang apa nama komunitasmu itu? Komunitas Sarang Nyamuk?"
Akibatnya kukemplang kepalamu, tak peduli dua tahun terpaut usia kita, dan bukan saya yang lebih tua.

[Masih pada tahun yang sama]
Kita di kelas yang sama, tahun lalu - dan tahun lalunya lagi - kau banyak bolong kuliah. Memperhatikan, kau buruk dalam mimik, tapi olah vokal terbaik dalam deklamasi.
Beratus-ratus diskusi, beberapa kali sampai banting kursi. Sekali lagi terbukti, bahwa berbeda jalur pemikiran tidak menjadikan dua orang tidak bisa baik berkawan.

[Di rumah Retno]
Pertama kali menyadari, kita balapan minum kopi.

[Lupa persisnya]
Sebuah pesan teks di ponsel saya, "Dek, butuh ngobrol...".
Ngalor-ngidul nda jelas kemudian. Yang belakangan saya tahu, karena tenggat waktu DO-mu yang sudah hampir datang...


[Suatu malam, di stadium futsal]
Bertemu kembali. Bertukar cerita lama sekali. Tentang pekerjaan barumu sebagai security di sebuah Bank.

[Idul Fitri kemarin]
Bertukar sapa, seperti lebaran biasanya.

[Setelah telepon yang lama dengan bapakmu]
Selamat jalan, senior...

Rabu, 11 Mei 2011

Dariku kepadamu untuk istrimu, haha...


“Istriku, engkaulah udara residu dalam paru-paruku…”

(Menjawab permintaan seorang teman, yang meminta dibuatkan sebuah kalimat penutup surat - yang ditujukan kepada istrinya, bersama kado - untuk peringatan tahun ke-4 pernikahan mereka.

Maafkan, saya tidak mengibaratkan istrimu dengan anggota tubuhmu. Kau memerlukannya. Dia mengikuti bentukmu. Dia menjadi faktor penunjang hidupmu, tetapi dia akan keluar dari dirimu manakala hidupmu dicabut oleh penciptanya dan dirimu.

Dan tentunya, kau tak hendak membawanya serta dalam kuburmu, jika kau “pergi” lebih dulu.
Sahabat, berbahagialah....

NB : Mohon tambah lagi ponakan baru, sebagai hadiah untukku, haha….)

Jumat, 29 April 2011

Dini hari di beranda Mas Daeng


Apa lawan dari subjek?

Bagaimana jika diberi akhiran -tif?
Apakah lawan subjektif adalah objektif?
Kedua - atau salah satu dari - kata itu biasanya terangkai dalam satu kalimat, bersama “pola pikir,” “cara pandang,” “bertindak,” “keputusan,” dan kolega-koleganya.

***

14 tahun yang lalu, Mas Daeng akan bilang "Objek!" untuk menjawab pertanyaan pertama. Jika ditanya sekarang, jawabannya lain, “Ya tergantung ada berapa subjek pada semesta itu. Bisa jadi lawan dari subjek adalah subjek lainnya. Kemudian lawan itu juga bisa jadi sekutu pada suatu saat. Tergantung kepentingan. Posisi dipengaruhi oleh tujuan. Kadang juga sebaliknya.”

“Lalu apakah lawan dari cara pandang subjektif adalah cara pandang objektif?” Saya bertanya pada Mas Daeng, kawan yang nyleneh dan suka meludah sembarangan itu.

“Wah, kita mesti mulai dari awal dong ya? Yang kamu pahami, subjektif itu apa?” Mas Daeng mulai merespon.

“Kalau bicara tentang sudut pandang, subjektif kan artinya sudut pandang yang dipakai adalah subjek…,” saya - seperti biasa - menjawab ragu-ragu, khawatir ada unsur retoris sinistik di situ.

“Hm, jika dipadankan dengan itu, objektif itu apa? Memandang dari sudut pandang objek? Bagaimana jika objeknya benda mati? Benda abstrak? Benda yang dibendakan dari kata sifat? Apakah keadilan - yang sering dimaknai secara subjektif - bisa memaknai dirinya?”

“Lha kan tidak semua objek adalah benda mati maupun abstrak, Daeng…,”  saya mencoba diplomatis.

“Beri saya contoh…,” Mas Daeng terlihat bersungguh-sungguh meminta.

“Kasus sengketa tanah di Jl. Baharuddin Lopa, developer melawan masyarakat sekitar,” jawab saya, tiba-tiba mendapat insight.

“Lalu mana yang menurut kamu yang sudut pandangnya subjektif? Developer? Masyarakat sekitar (mana)? Aparat penegak hukum? Perangkat peradilan? Keadilan? Sengketa?”

“Empat yang pertama adalah subjek, dengan posisinya masing-masing. Dua objek terakhir adalah sesuatu yang dibendakan. Lalu mana di antaranya yang punya sudut pandang objektif?” Lanjutnya.

“Ketahuilah, objektif bukannya memandang dari sudut pandang objek. Sebab jika predikatnya “memandang,” maka objek pun lantas menjadi subjek. Objektif bukan pula “tidak memandang dari sudut pandang manapun,” melainkan memandang dari semua aspek, mempertimbangkan banyak kepentingan. Dalam terminologi pengambilan keputusan, objektif berarti memikirkan akibat bagi semua pihak.”

(Perhatian saya kepada hal yang dibicarakan dengan Mas Daeng selalu teralih oleh bahasa tubuhnya yang - seringkali - tidak relevan. Seringkali tatapannya teralih kepada benda lain, seolah benda itu yang tengah diajaknya bercakap. Kali ini dia memilih Rumpun Zamia di teras rumahnya.)

“Memang lebih mudah mengatakannya. Tetapi tidak menjadikannya mustahil untuk dilakukan. Kalau rekan saya Pithek membahasakannya sebagai pola pikir pantul dan orientasi atas-bawah.”

“Dalam banyak kasus, keputusan yang objektif dilakukan dengan mengasimilasi semua pandangan subjektif yang konstruktif, mengeliminasi yang destruktif dan yang tidak relevan. Dan itu seringkali dilakukan oleh satu orang saja, yang memandang kepada satu objek dari berbagai arah, selama beberapa masa - yang relatif - sebelum akhirnya mengetukkan palunya.”

"Dan sekali lagi, ini bukan berarti saya paling ahli lho ya tentang berpikir dan bertindak objektif ini, haha..."

Rabu, 27 April 2011

Coretan Kibor yang Subjektif


Bagian ini mudah-mudahan cukup menjadi advance organizer :

Pak Dosen pernah memancing bicara, “Saya ingin mendengar dari adik-adik, pengertian profesional.”
Beberapa detik kemudian beliau mulai menunjuk mahasiswa yang beliau ingin dengar jawabannya.
“Anda. Ya, anda.”
“Ng, profesional itu mampu menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya, Pak.” Kata seorang teman yang agak gelagapan.
“Hehe, sepertinya anda rancu antara pengertian profesional dengan salah satu ciri proporsional. Tapi tidak mengapa, dengan rasionalisasi seadanya, itu juga bisa mengena, kok.” Kata Pak Dosen memberi penguatan.

Memang seringkali terjadi kerancuan penggunaan - bahkan pemahaman - suatu istilah dengan lainnya. Apalagi jika morfem dan fonemnya memiliki kemiripan. Belum lagi jika disleksia sudah turut mengambil bagian. Ditambah gugup. Ditambah cadel, latah, dan lain - tetapi - sebagainya.

***

Sekelompok pemuda memutuskan keluar bersama dari sebuah organisasi, lantaran dalam pengkaderan dan seleksinya, salah satu dari sekumpulan pemuda tersebut dinyatakan tidak lulus.
Aksi protes dilancarkan dalam bentuk - ya itu tadi - aksi keluar bersama. Alasannya kebersamaan. Agen pembawa alasannya adalah solidaritas. Mesti kompak adalah slogannya.

Hal ini kemudian saya ceritakan kepada Ibnu Baco’, kawan saya yang organisatoris. Lalu katanya...

“Itu satu bentuk reaksi. Lumrah. Enam setengah tahun yang lalu saya mungkin akan mengambil langkah yang sama. Out before we really in. Pergi dan berharap agar itu menjadi teguran bagi yang di atas - entah siapa “yang” itu, dan di mana “atas” itu.”
“Namun, jika ditanya sekarang, saya akan - dan telah - menjawab, tindakan keluar bersama itu adalah prematur,” lanjutnya.
“Terlebih dahulu akan saya perjelas alasan mengapa terjadi perbedaan perlakuan. Jika terdapat ketidakjelasan, terus ditanyakan. Jika memang beralasan dan layak untuk dilakukan, saya akan membantu menjelaskan dan mengusahakan adanya keikhlasan.”
“Jika tidak berasalan - atau beralasan tetapi tidak bisa dibenarkan dalam norma apapun yang berlaku - saya akan memilih tetap di dalam, menyusun kekuatan dan landasan kokoh  kemudian melancarkan aksi setelah memastikan bahwa posisi saya sudah cukup baik untuk didengarkan. Sistem mesti diubah dari dalam. Dan bagaimana bisa mengubahnya jika terlalu cepat lari? Suatu saat saya akan tiba pada posisi yang bisa memberi pengaruh pada kebijakan, dan itulah waktunya.”

“Tapi mudah-mudahan sesampainya saya pada saat itu, saya tetap waras dan istiqomah, hehe...."

***

Pertanyaan dan cerita kepada Ibnu Baco’ tadi adalah forward saya dari seorang sahabat. “Mohon ulasan coretan kibor, mengenai kajian objektif-tak-objektif-nya,” kata sahabat itu.
Sampai sekarang pun saya masih agak gamang, sebab tidak menonjol sisi yang menyentuh terminologi objektif-tak-objektif pada kejadian itu. Mungkin karena ada bagian cerita yang belum tersampaikan, atau ada yang tidak sempat ditangkap karena keterbatasan kapasitas agen pengirim karakter huruf. Atau mungkin lantaran kekeliruan menggunakan istilah, seperti pada bagian awal di atas, hehe….

Tetapi, biar tetap ada kata objektif dalam ulasan ini, maka baiklah, akan saya ketikkan banyak-banyak kata ajaib (objektif) itu dalam kolom ini, hehe….

Se-objektif-objektif-nya evaluasi dalam seleksi dan pengkaderan, menurut saya - berarti ini tidak objektif - tetap diperlukan penilaian pribadi dari selektor (dalam hal ini panitia seleksi atau fungsionaris pengkaderan). Ada hal-hal pada diri manusia yang tidak dapat dinilai dan dideteksi oleh parameter data, skor dan angka. Tidak selalu mesti objektif saja dalam menilai. Selanjutnya ada hal-hal yang dapat dilihat oleh penilai tetapi jatuh pada titik buta orang lain, sehingga tidak nampak dari sini, tetapi terlihat dari sana. Jadi subjektif - atau tidak objektif - juga diperlukan.
Sahabat saya yang lain - seorang pendekar - pernah bercerita, ketika seorang rekan sepadepokannya dinyatakan tidak lulus mencapai Sabuk Merah, siswa lain terheran-heran. Si Tidak Lulus ini adalah putra pendekar kenamaan dari Madura, menguasai semua jurus wajib, jurus seni, dan jurus-jurus tingkat rahasia. Rajin menderes, latih tanding dan bertanya. Mengkhatamkan teori mematikan serangan, teori senjata dan teori lainnya.
Setelah diperjelas pada dewan guru, ternyata yang menurutnya - dan siswa lain - adalah kelebihan, menurut pandangan guru justru kekurangan yang bisa berakibat fatal.
Kelebihan yang dimaksud adalah banyak bertanya. Dewan guru menjelaskan, “Apakah saat seorang bromocorah - beneran, bukan teman latihan - membacok anda, anda akan bertanya kepadanya, “Apakah anda ingin saya jatuhkan dengan teori bantingan atas, cengkeram dagu-sodok rusuk, tangkisan wajib satu tangan, tangkisan wajib dua tangan, buangan, bathekan, atau tahan sotho?”

Ini subjektif dari sudut pandang teman-teman kami, tetapi dalam pandangan Dewan Guru  - dan saya - itu objektif.

Tetapi kembali lagi pada kata ajaib hari ini. Semuanya memang mesti objektif. Hanya saja, objektif dan tidak objektif juga bisa bertukar tempat, tergantung siapa yang memandang. Sebab, selain ada paradigma dan dogma, juga ada perspektif yang mesti diakui. Ada perbedaan posisi. Ada perbedaan tingkat pengalaman. Juga ada selisih wewenang.

***

Maka saya setuju dengan Ibnu Baco’. Saya bertekad memperbaiki dari dalam saja. Posisi di mana Insya Alloh saya akan lebih didengarkan. Ketimbang dari luar. Sebab jika keluar, bagaimanapun saya berjogat-joget membawa spanduk dari seberang pagar, toh, saya sudah jadi orang luar yang tidak lagi didengar.

Tetapi jika tindakan "mengeluarkan" itu memang benar dan beralasan - seperti  cerita teman saya dari padepokan - maka saya mesti rasional. Organisasi itu tentunya layak untuk tetap menahan saya di tempat. Kegiatannya layak untuk saya jalani. Untuk saya jadikan wahana menarik dan membagikan manfaat.

***

Jika direnungkan, penentuan objektif-tidak-objektif ternyata sering dilakukan secara subjektif….

Selasa, 22 Februari 2011

Bermula dari ujung ketiga


Salah satu pertanyaan dalam benak Mas Daeng selama ini adalah posisi badik dalam tata cara berpakaian adat bugis dan makassar. Mengapa di depan? Mengapa ditappik (dipegang dalam posisi siaga)?
Penjelasan yang pernah - hampir - diterimanya adalah bahwa kaum bugis dan makassar begitu mengedepankan penggunaan senjata ketimbang akal sehat. Pabambangang (mudah tersulut emosinya) na tolo (tetapi bodoh).
Namun falsafah tidak dapat diberi interpretasi sepihak. Sesuatu yang bersumber dari sejarah tidak benar apabila dimaknai tanpa riset. Tidak boleh ada hipotesa yang tercipta begitu saja, tanpa dikaji. Dugaan akan menjadi keyakinan tanpa landasan. Berujung pada stereotype yang mencederai.

***

Dalam suatu kesempatan Mas Daeng bertemu dengan seorang tetua bugis di suatu desa. Percakapan dilakukan dengan maccekkeng (berjongkok), sambil mengaso sejenak setelah bekerja meratakan jalan dusun dan membuat keran umum.
Setelah terdiam beberapa saat, Pak Kumis (sebut saja demikian, sesuai kenyataan, hehe…) balik bertanya, “Ndi’ ini pernah melihat kalajengking?”
“Pernah, Puang, bahkan pernah disengat,” Mas Daeng membenarkan posisi.
“Tepatnya disengat bagian apa?”
“Betis saya, Puang.”
“Maksud saya, disengat oleh bagian apanya si kalajengking…”
“Oh, itu lho, Puang, yang di ekornya…”
“Berarti kalajengking itu membelakang yah?” Bibir Pak Kumis agak miring waktu tersenyum itu.
“Seingat saya tidak, Puang, sengat ekornya kan bisa dilengkungkan, jadi letaknya di depan,”
“Berarti kalau di depan, bukan ekor dong ya namanya?” Pak Kumis - sepertinya - memancing sesuatu.
“Tetap ekor, Puang, hanya posisinya bisa diubah menjadi seolah di depan. Dan setahu saya, posisi dilengkungkan itu tidak setiap saat, kalajengking hanya begitu saat merasa terancam.” Mas Daeng agak tersipu.
“Haha, memang benar, Ndi’, sengat hanya dipakai untuk saat tertentu, semacam senjata terakhir. Seperti kalau main domino dan ingin menang palang, kartu dobel disimpan untuk saat terakhir…”
Pembicaraan terpotong sejenak, kopi dibagikan. Tetap maccekkeng.
“Demikian pula dengan badik itu. Kalau orang sini menyebutnya kawali. Posisinya memang di depan, seperti mangngera (menantang). Tetapi hanya digunakan pada saat-saat terakhir. Manakala semua pintu penyelesaian sudah tertutup. Pada saat tidak lagi ada lagi jalan selain berkelahi…”
“Apakah posisi di depan selalu menunjukkan urutan penggunaan? Tentu tidak demikian. Seingat saya, pasukan perang negara kita tidak pernah menjepitkan senjatanya di bagian belakang ikat pinggang. Tidak pernah diselipkan dalam baju bagian belakang. Bahkan selalu dipegang, tetapi dalam posisi aman. Senjata baru ditembakkan untuk serangan balasan, itupun kalau ada komando…” (kelak saya jadi tahu, bahwa Pak Kumis ini pernah menjadi anggota Laskar Rakyat).
“Penempatan posisi kawali lebih untuk penanda identitas. Seperti bendera di halaman depan rumah Ibu Kepala Desa, atau papan nama di Depan Kantor Kecamatan. Kawali itu juga banyak macamnya, Ndi’, lain kawali Bone, lain pula badik Bantaeng. Ada juga yang namanya tobok.”
“Dalam paseng to riolo (pesan tetua jaman dahulu) dikatakan :
Engka tellu cappa’ bokonna to laoe, iyana ritu :
Cappa’ lilae
Cappa’ orowanewe
Cappa’ kawalie
(Terdapat tiga ujung yang menjadi bekal bagi orang yang bepergian, yaitu :
Ujung lidah
Ujung kelelakian (kemaluan)
Ujung senjata)
Jadi, cappa’ kawali memang berada pada urutan ketiga yang menjadi bekal kita, manusia bugis ini.…”

***

Percakapan yang dimaksud berlangsung di Dusun Ulaweng, Desa Tenripakkua, Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone.
Melalui kajian literatur (kajian relevan terdapat dalam Panyingkul!, tulisan Prof. Dr. Nurhayati (peneliti naskah La Galigo), tulisan Christian Pelras, tulisan Junus Aditjondro serta banyak lagi “duduk maccekkeng” yang dibina di beberapa daerah bugis) Mas Daeng menemukan interpretasi mengenai tellu cappa', yaitu :
Ujung lidah mengacu pada kemampuan berbicara. Kesantunan berkata dan kemampuan beradaptasi pada bahasa dan budaya lain. Lidah juga mengacu pada kemampuan berdiplomasi, debat dan diskusi. Ujung lidah merupakan sarana pengenalan dan perkenalan kepada dunia baru, alat untuk melakukan asimilasi dan akomodasi.
Ujung kelelakian merupakan gambaran pernikahan. Jodoh yang tepat akan menjadi bekal dunia akhirat. Bukan hanya untuk mereka yang terkait secara langsung, melainkan juga terkait dengan keberlangsungan anak turun.
Ujung senjata adalah gambaran kesiapan berkonfrontasi. Apabila semua upaya lain untuk menghindari masalah telah dilakukan, maka jangan lari dari konflik. Hadapi dengan siaga dan tidak mengenal takut. Tetapi terdapat satu syarat mutlak untuk itu, yaitu “perlawanan hanya dilakukan apabila berada dalam dan untuk kebenaran.”
Beberapa budayawan bugis (termasuk tokoh Alwi Hamu) kemudian menambahkan cappa’ keempat, yaitu cappa’ palopeng,” (ujung pena).
Mengacu pada kemampuan menggunakan media informasi untuk mengembangkan diri. Dapat juga diartikan sebagai perwakilan dari ilmu pengetahuan.
Ketiga (ditambah satu) “ujung” tersebut merupakan bekal yang baik, apabila digunakan demi tujuan baik, dengan cara yang juga baik….
Jadi, mari menggunakan empat ujung yang kita miliki, dengan cara yang bijaksana….

Selasa, 18 Januari 2011

Punya hidung tapi tidak berhidung

Inge' dalam bahasa bugis berarti hidung. Secara harafiah, "memiliki hidung" apabila dibugiskan menjadi mainge'. Tetapi mainge' dalam sastra bugis juga memiliki makna lain, yang kemudian tidak berkaitan sama sekali dengan alat peng-indera yang disurat oleh kata dasarnya.
Mainge' diartikan sebagai "sadar, waspada, awas," atau eling jika dipadankan dengan bahasa daerah seberang pulau.
Bukan hanya mengena pada hal fisik, melainkan - lebih - digunakan untuk hal-hal yang abstrak. Mengacu pada pola pikir visioner, pertimbangan yang matang, berpikir pantul, toleran dan berhati-hati memilih langkah.
Tidak jelas mana yang lebih dahulu digunakan, mana yang muncul lebih mula dan mana yang hanya dibiaskan. Keduanya digunakan, bahkan menjadi ungkapan sindiran yang biasanya diuntukkan bagi mereka yang terbiasa bertindak ceroboh, yaitu engka inge'na na de' na mainge'.
Semoga kita mampu selalu berhidung, bukan hanya memiliki hidung...