Selasa, 22 Februari 2011

Bermula dari ujung ketiga


Salah satu pertanyaan dalam benak Mas Daeng selama ini adalah posisi badik dalam tata cara berpakaian adat bugis dan makassar. Mengapa di depan? Mengapa ditappik (dipegang dalam posisi siaga)?
Penjelasan yang pernah - hampir - diterimanya adalah bahwa kaum bugis dan makassar begitu mengedepankan penggunaan senjata ketimbang akal sehat. Pabambangang (mudah tersulut emosinya) na tolo (tetapi bodoh).
Namun falsafah tidak dapat diberi interpretasi sepihak. Sesuatu yang bersumber dari sejarah tidak benar apabila dimaknai tanpa riset. Tidak boleh ada hipotesa yang tercipta begitu saja, tanpa dikaji. Dugaan akan menjadi keyakinan tanpa landasan. Berujung pada stereotype yang mencederai.

***

Dalam suatu kesempatan Mas Daeng bertemu dengan seorang tetua bugis di suatu desa. Percakapan dilakukan dengan maccekkeng (berjongkok), sambil mengaso sejenak setelah bekerja meratakan jalan dusun dan membuat keran umum.
Setelah terdiam beberapa saat, Pak Kumis (sebut saja demikian, sesuai kenyataan, hehe…) balik bertanya, “Ndi’ ini pernah melihat kalajengking?”
“Pernah, Puang, bahkan pernah disengat,” Mas Daeng membenarkan posisi.
“Tepatnya disengat bagian apa?”
“Betis saya, Puang.”
“Maksud saya, disengat oleh bagian apanya si kalajengking…”
“Oh, itu lho, Puang, yang di ekornya…”
“Berarti kalajengking itu membelakang yah?” Bibir Pak Kumis agak miring waktu tersenyum itu.
“Seingat saya tidak, Puang, sengat ekornya kan bisa dilengkungkan, jadi letaknya di depan,”
“Berarti kalau di depan, bukan ekor dong ya namanya?” Pak Kumis - sepertinya - memancing sesuatu.
“Tetap ekor, Puang, hanya posisinya bisa diubah menjadi seolah di depan. Dan setahu saya, posisi dilengkungkan itu tidak setiap saat, kalajengking hanya begitu saat merasa terancam.” Mas Daeng agak tersipu.
“Haha, memang benar, Ndi’, sengat hanya dipakai untuk saat tertentu, semacam senjata terakhir. Seperti kalau main domino dan ingin menang palang, kartu dobel disimpan untuk saat terakhir…”
Pembicaraan terpotong sejenak, kopi dibagikan. Tetap maccekkeng.
“Demikian pula dengan badik itu. Kalau orang sini menyebutnya kawali. Posisinya memang di depan, seperti mangngera (menantang). Tetapi hanya digunakan pada saat-saat terakhir. Manakala semua pintu penyelesaian sudah tertutup. Pada saat tidak lagi ada lagi jalan selain berkelahi…”
“Apakah posisi di depan selalu menunjukkan urutan penggunaan? Tentu tidak demikian. Seingat saya, pasukan perang negara kita tidak pernah menjepitkan senjatanya di bagian belakang ikat pinggang. Tidak pernah diselipkan dalam baju bagian belakang. Bahkan selalu dipegang, tetapi dalam posisi aman. Senjata baru ditembakkan untuk serangan balasan, itupun kalau ada komando…” (kelak saya jadi tahu, bahwa Pak Kumis ini pernah menjadi anggota Laskar Rakyat).
“Penempatan posisi kawali lebih untuk penanda identitas. Seperti bendera di halaman depan rumah Ibu Kepala Desa, atau papan nama di Depan Kantor Kecamatan. Kawali itu juga banyak macamnya, Ndi’, lain kawali Bone, lain pula badik Bantaeng. Ada juga yang namanya tobok.”
“Dalam paseng to riolo (pesan tetua jaman dahulu) dikatakan :
Engka tellu cappa’ bokonna to laoe, iyana ritu :
Cappa’ lilae
Cappa’ orowanewe
Cappa’ kawalie
(Terdapat tiga ujung yang menjadi bekal bagi orang yang bepergian, yaitu :
Ujung lidah
Ujung kelelakian (kemaluan)
Ujung senjata)
Jadi, cappa’ kawali memang berada pada urutan ketiga yang menjadi bekal kita, manusia bugis ini.…”

***

Percakapan yang dimaksud berlangsung di Dusun Ulaweng, Desa Tenripakkua, Kecamatan Lappariaja Kabupaten Bone.
Melalui kajian literatur (kajian relevan terdapat dalam Panyingkul!, tulisan Prof. Dr. Nurhayati (peneliti naskah La Galigo), tulisan Christian Pelras, tulisan Junus Aditjondro serta banyak lagi “duduk maccekkeng” yang dibina di beberapa daerah bugis) Mas Daeng menemukan interpretasi mengenai tellu cappa', yaitu :
Ujung lidah mengacu pada kemampuan berbicara. Kesantunan berkata dan kemampuan beradaptasi pada bahasa dan budaya lain. Lidah juga mengacu pada kemampuan berdiplomasi, debat dan diskusi. Ujung lidah merupakan sarana pengenalan dan perkenalan kepada dunia baru, alat untuk melakukan asimilasi dan akomodasi.
Ujung kelelakian merupakan gambaran pernikahan. Jodoh yang tepat akan menjadi bekal dunia akhirat. Bukan hanya untuk mereka yang terkait secara langsung, melainkan juga terkait dengan keberlangsungan anak turun.
Ujung senjata adalah gambaran kesiapan berkonfrontasi. Apabila semua upaya lain untuk menghindari masalah telah dilakukan, maka jangan lari dari konflik. Hadapi dengan siaga dan tidak mengenal takut. Tetapi terdapat satu syarat mutlak untuk itu, yaitu “perlawanan hanya dilakukan apabila berada dalam dan untuk kebenaran.”
Beberapa budayawan bugis (termasuk tokoh Alwi Hamu) kemudian menambahkan cappa’ keempat, yaitu cappa’ palopeng,” (ujung pena).
Mengacu pada kemampuan menggunakan media informasi untuk mengembangkan diri. Dapat juga diartikan sebagai perwakilan dari ilmu pengetahuan.
Ketiga (ditambah satu) “ujung” tersebut merupakan bekal yang baik, apabila digunakan demi tujuan baik, dengan cara yang juga baik….
Jadi, mari menggunakan empat ujung yang kita miliki, dengan cara yang bijaksana….