Jumat, 29 April 2011

Dini hari di beranda Mas Daeng


Apa lawan dari subjek?

Bagaimana jika diberi akhiran -tif?
Apakah lawan subjektif adalah objektif?
Kedua - atau salah satu dari - kata itu biasanya terangkai dalam satu kalimat, bersama “pola pikir,” “cara pandang,” “bertindak,” “keputusan,” dan kolega-koleganya.

***

14 tahun yang lalu, Mas Daeng akan bilang "Objek!" untuk menjawab pertanyaan pertama. Jika ditanya sekarang, jawabannya lain, “Ya tergantung ada berapa subjek pada semesta itu. Bisa jadi lawan dari subjek adalah subjek lainnya. Kemudian lawan itu juga bisa jadi sekutu pada suatu saat. Tergantung kepentingan. Posisi dipengaruhi oleh tujuan. Kadang juga sebaliknya.”

“Lalu apakah lawan dari cara pandang subjektif adalah cara pandang objektif?” Saya bertanya pada Mas Daeng, kawan yang nyleneh dan suka meludah sembarangan itu.

“Wah, kita mesti mulai dari awal dong ya? Yang kamu pahami, subjektif itu apa?” Mas Daeng mulai merespon.

“Kalau bicara tentang sudut pandang, subjektif kan artinya sudut pandang yang dipakai adalah subjek…,” saya - seperti biasa - menjawab ragu-ragu, khawatir ada unsur retoris sinistik di situ.

“Hm, jika dipadankan dengan itu, objektif itu apa? Memandang dari sudut pandang objek? Bagaimana jika objeknya benda mati? Benda abstrak? Benda yang dibendakan dari kata sifat? Apakah keadilan - yang sering dimaknai secara subjektif - bisa memaknai dirinya?”

“Lha kan tidak semua objek adalah benda mati maupun abstrak, Daeng…,”  saya mencoba diplomatis.

“Beri saya contoh…,” Mas Daeng terlihat bersungguh-sungguh meminta.

“Kasus sengketa tanah di Jl. Baharuddin Lopa, developer melawan masyarakat sekitar,” jawab saya, tiba-tiba mendapat insight.

“Lalu mana yang menurut kamu yang sudut pandangnya subjektif? Developer? Masyarakat sekitar (mana)? Aparat penegak hukum? Perangkat peradilan? Keadilan? Sengketa?”

“Empat yang pertama adalah subjek, dengan posisinya masing-masing. Dua objek terakhir adalah sesuatu yang dibendakan. Lalu mana di antaranya yang punya sudut pandang objektif?” Lanjutnya.

“Ketahuilah, objektif bukannya memandang dari sudut pandang objek. Sebab jika predikatnya “memandang,” maka objek pun lantas menjadi subjek. Objektif bukan pula “tidak memandang dari sudut pandang manapun,” melainkan memandang dari semua aspek, mempertimbangkan banyak kepentingan. Dalam terminologi pengambilan keputusan, objektif berarti memikirkan akibat bagi semua pihak.”

(Perhatian saya kepada hal yang dibicarakan dengan Mas Daeng selalu teralih oleh bahasa tubuhnya yang - seringkali - tidak relevan. Seringkali tatapannya teralih kepada benda lain, seolah benda itu yang tengah diajaknya bercakap. Kali ini dia memilih Rumpun Zamia di teras rumahnya.)

“Memang lebih mudah mengatakannya. Tetapi tidak menjadikannya mustahil untuk dilakukan. Kalau rekan saya Pithek membahasakannya sebagai pola pikir pantul dan orientasi atas-bawah.”

“Dalam banyak kasus, keputusan yang objektif dilakukan dengan mengasimilasi semua pandangan subjektif yang konstruktif, mengeliminasi yang destruktif dan yang tidak relevan. Dan itu seringkali dilakukan oleh satu orang saja, yang memandang kepada satu objek dari berbagai arah, selama beberapa masa - yang relatif - sebelum akhirnya mengetukkan palunya.”

"Dan sekali lagi, ini bukan berarti saya paling ahli lho ya tentang berpikir dan bertindak objektif ini, haha..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar